The correlation beetwen Pemanasan Global (Global Warming) dengan kenaikan muka air laut
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Jelaslah bahwa efeknya terhadap perairan yaitu peningkatan permukaan laut. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 – 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut :
(a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir,
(b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove,
(c) meluasnya intrusi air laut,
(d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan
(e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Faktanya di wilayah Indonesia ambil contoh wilayah Jakata berdasarkan analisis dari para pakar lingkungan, pada 2020 di Indonesia, tepatnya Bandara Soekarno Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan pada 2050 nanti, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional yang berada di pusat kota Jakarta. Dan diperkirakan pada 2070, sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan, sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.
Ancaman serius ini layaknya perlu kita cermati bukan hanya para pengamat lingkungan tapi setidak-tidaknya kita juga turut serta dalam hal sekecil apapun untuk tindakan preventif seperti mengurangi membakar sampah, membudayakan gemar menanam pohon agar dampak pemanasan global ini dapat dikurangi adanya demi masa depan anak dan cucu kita semua.
Dampak Banjir
Fenomena banjir merupakan hal yang tak asing ditelinga kita. Secara teoritis banjir dapat didefenisikan sebagai peristiwa alam berupa meluapnya sungai melebihi kapasitas palungnya yang menyebabkan terjadinya genangan air yang seringkali disertai arus yang deras pada bagian tanah yang rendah. Proses kelebihan air di daratan ini dimungkinkan karena banyak faktor dan hal pemicunya. Adapun berlebihnya air yang utama ialah disebabkan ketidakmampuan dari daratan baik itu bentuk drainase ataupun akar pepohonan dan hal terkait lainnya yang memang berfungsi untuk menampung limpahan air. Selain itu meluapnya air sungai juga dapat menjadi penyebab melimpahnya air di daratan dan sebenarnya banyak faktor lainnya seperti drainase yang mengecil akibat sedimentasi, tertutupnya sistem drainase akibat adanya bangunan-bangunan, banyaknya tumpukan sampah didalam sistem drainase, meningkatnya koefisien aliran air, faktor curah hujan yang tinggi dan sebagainya.
Secara umum faktor penyebab pokok masalah banjir antara lain:
- Kondisi alam yang bersifat statis
- Posisi geografi yang mempengaruhi intensitas curah hujan
- Topografi ( daerah rendah dan landai akan lebih rawan terkena banjir)
- Karakteristik sungai ( sungai landai, mendering, bottle neck)
- Peristiwa alam yang bersifat dinamis
- Pemanasan global (naiknya suhu permukaan laut)
- Penghalangan aliran sungai oleh air laut pasang (aliran melimpas)
- Adanya land subsidence karena overdraft air tanah
- Penyumbatan/pendangkalan muara
Fakta bahwa Indonesia sampai saat ini belumlah dapat keluar dari fenomena banjir ini. Bahkan diberbagai daerah ada yang diistilahkan sebagai banjir musiman yang harus dialami masyarakat secara berkala dan berulang.
Tentunya berulangnya hal ini patut sekali untuk dipertanyakan, dimana lembaga negara kita yang mengatur tentang ini. Namun demikian terlepas dari hal itu kita mesti bertanya pada pribadi masing-masing apa yang sudah kita lakukan untuk mencegah fenomena ini. Intinya adalah dalam penanggulangannya diperlukan peran serta dan kesadaran kita semua demi menuju hal yang lebih baik dimasa depan.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa bencana banjir akan merugikan banyak pihak dan secara garis besarnya tak lain adalah kita makhluk hidup yang memenuhi isi bumi. Manusia dan makhluk hidup lainnya tentunya akan merasakan dampak akibat dari banjir tersebut seperti lahan sawah yang tergenang banjir yang menyebabkan gagal panen, perabotan rumah tangga terendam banjir dan sebagainya.
Budaya Air: Tidak mengalah, Tidak mengalahkan, Tapi sampai di tujuan
Aku berasal dari bumi melalui langit aku turun lagi ke bumi membasahi seluruh permukaan. Setelah sampai di permukaan bumi sebagian dari aku masuk ke dalam perut bumi melalui pori-porinya dan sebagian dari aku mengalir diatas permukaannya. Aku berjalan dari atas gunung-gunung menuju ke lembah-lembah dan perjalananku berakhir di laut, jangan halangi jalanku. Kadang-kadang aku datang disuatu tempat dengan jumlah yang banyak, maka berhati-hatilah karena aku perlu jalan yang lebih lebar dan perlu tempat istirahat yang luas. Jangan ganggu tempat istirahatku.
(Roestam Sjarief, PELATIHAN SPATIAL PLANNING DALAM BWRMP, Bogor 2003)
Permasalahan Air ( The Real Water Problem)
Di mana ada sungai di situ ada pemukiman. Bahkan kota-kota besar di dunia adalah kota-kota di tepi sungai-sungai besar. London dengan S. Times. New York dengan S. Houdzon. Kairo dengan S. Nil. Tokio dengan S. Sumida. Jakarta dengan S. Ciliwung. Surabaya dengan S. Brantas. Jogjakarta dengan S. Krasak, dan lain sebagainya.
Di Italia ada ribuan km saluran air yang diberi nama aqueduct dan sudah dibuat pada abad ke 4 SM, baik saluran terbuka, terowongan ataupun bertingkat. Di Belanda ribuan saluran lebar dibuat untuk transportasi dan wisata. Ketika menjajah Nusantara Belanda membuat ribuan km saluran air di P. Jawa. Belandalah satu-satunya negara yang jago ilmu air.
Perlu menjadi pengetahuan kita bahwa ada wilayah bumi dengan 4 musim ada yang hanya dua musim. Di wilayah empat musim, tidak pernah ada masa kemarau panjang yang menghabiskan air di sungai maupun di dalam tanah. Pada musim dingin air berubah menjadi es. Lainhalnya dengan wilayah tropis. Pada musim kemarau panjang air sungai menyusut drastis sampai kering. Air tanah tinggal yang di kedalaman di bawah ratusan m. Maka sumur asat. Jadi diwilayah tropis dengan sendirinya ada kerawanan air kehidupan.
Menariknya bahwa di wilayah bumi empat musim, pergaulan manusia dengan air jauh lebih eksploratif, kreatif, inovatif. Ilmu air berkembang. Ada Hydrobbiologi (ilmu hayati air), Hydro-ecology (ilmu air lingkungan), Hydraulic-Enginering (ilmu teknik rekayasa air) dlsb.
Mesin pompa pasti tidak diciptakan orang Indonesia, tapi orang dari wilayah 4 musim. Teknologi pemanfaat air berkembang. Di Eropah umumnya di mana-mana tersedia kran air langsung layak minum dan gratis. Air tidak sekedar untuk mandi, cuci, masak dan pertanian melainkan menjadi sarana transportasi dan wisata. Lain halnya dengan di wilayah tropis kita. Hampir tidak ada apa-apanya. Semuanya berlangsung alamiah saja. Dimusim hujan, air di mana-mana. Kita mengeluh, menyalahkan hujan yang mengganggu aktivitas dan kenyamanan. Pesawat terbang yang jatuh pun yang dituduh jadi penyebab adalah cuaca buruk, hujan, air di bandara. Pada musim kemarau, sama saja mengeluh, kurang air. Bahkan mengenai gagal panen yang disalahkan juga iklim atau musim kemarau.
Begitu banyak air dicurahkan dari langit. Pada waktu itu juga air langsung kembali ke laut. Yang tinggal di dalam tanah hanya yang dilakukan oleh alam. Tidak ada strategi dan teknik besar untuk membuat air hujan bertahan di tanah sampai musim kemarau datang. Bahkan, berbagai industri berbasis kayu malah mengganggu alam dengan membabat hutan. Dan ketika giliran musim kemarau datang, alam lagi yang disalahkan, kenapa hujan tidak datang-datang.
Sejarah pergaulan manusia tropis di Indonesia ratusan tahun lamanya tidak menunjukkan adanya peradaban yang mengagumkan. Peradaban manusia tropis Indonesia justru makin menyebabkan kemungkinan terjadinya kelangkaan air. Sejak tahun 1985 terjadi pembabatan hutan sebesar 1,6 juta hektar per tahun. Dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 2,83 juta hektar pertahun. Padahal di hutan itulah alam melakukan penyimpanan air. Yang jadi ancaman serius, yaitu kekurangan air akan dialami anak cucu kita di tahun-tahun yang akan datang.
Dewasa ini permasalahan yang cenderung dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air meliputi ;
a) adanya kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan;
b) persaingan dan perebutan air antara daerah hulu dan hilir atau konflik antara berbagai sektor;
c) penggunaan air yang berlebihan dan kurang efisien;
d) penyempitan dan pendangkalan sungai, danau karena desakan lahan untuk pemukiman dan industri;
e) pencemaran air permukaan dan air tanah
f) erosi sebagai akibat penggundulan hutan
Di Indonesia banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kekeringan tentunya berdampak besar bagi sektor pertanian ini. Untuk itu pemerintah tentunya tidak dapat menganggap remeh hal ini. upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih harus menjadi prioritas pemerintah, tanpa harus menunggu komando dan perdebatan tentang definisi bencana kekeringan itu sendiri. Di sinilah test-case paling krusial terhadap langkah preventif terhadap Tim Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana, tanpa harus menunggu suatu bencana sampai benar-benar datang, seperti dilakukan selama ini. Dalam jangka menengah, pemerintah wajib memiliki suatu panduan umum tentang langkah kebijakan dan program aksi yang terintegrasi dalam rencana program tahunan yang tidak perlu menyimpang dari Program Pembangunan Nasional dan Daerah (Propenas dan Propeda) dan tentu saja wajib muncul dalam anggaran pusat dan anggaran daerah.
Mengenai kelebihan air di daratan atau banjir telah dipaparkan pada bahagian dua di atas (dampak banjir dan siapa saja yang rugi akibat banjir).
Berbicara masalah lintas sektor pengairan dapat dijelaskan melalui hal berikut:
Menurut UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pemerintah pusat |
Pemerintah Provinsi |
Pemerintah Kabupaten Kota |
Pengelolaan SDA yang terletak pada wilayah sungai:- Lintas provinsi- Lintas Negara- Strategis nasional
Pasal 14 |
Pengelolaan SDA yang terletak pada Wil. Sungai :– Lintas Kabupaten / KotaPasal 15 |
Pengelolaan SDA yang terletak pada Wil. Sungai :– Dalam Kabupaten /KotaPasal 16 |
Sebagian WEWENANG Pemerintah (Pusat) dalam pengelolaan SDA dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan per-UU-an(Pasal 18) |
Pembagian Wewenang & Tanggungjawab Pengelolaan SDA (Direktorat PSDA, 2005)
Masalah lain ialah tentang pencemaran. Wilayah perairan sebahagian besar telah dicemari oleh berbagai hal. Pencemaran tentunya berhubungan dengan nilai BOD dan COD dari air tersebut. Dengan atau tanpa sadar berbagai pencemaran telah dilakukan di wiliayah perairan, utamanya adalah sungai. Misalnya mencuci menggunakan deterjen di sungai bahkan sampai-sampai kasus pengaliran air kotor ke aliran sungai seperti limbah pabrik.
Referensi
- UUD 1945 (pasal-pasal terkait)
- UU No.7 Tahun 2004 tentang SDA
- Fransini Joseph B dan Linsley Ray K. Teknik Sumber Daya Air. Erlangga. Jakarta.
- Bahan kuliah “Pengembangan Sumber Daya Air” Teknik Sipil USU Tahun 2009. Dosen : Alm. DR.Ir.H.Gindo Maraganti Hasibuan, MM.
- Mengutip dari wikipedia tentang Pemanasan Global.
- Mengutip tulisan “Menuju Budaya Air” dari Rm. V. Kirjito (www.multiply.com)
- Mengutip tulisan “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air” dari anafio (www.multiply.com)
- Artikel pemanasan global
- Mulyanto. 2007: Sungai, Fungsi Dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
- Kodoatie, Robert J, Sri Sangkawati, Suharyanto, Sutarto Edhisono. 2002: Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Andi Yogyakarta. Yogyakarta
- Suripin. 2004: Sistem Drainase Perkotaaan Yang Berkelanjutan. Andi Yogyakarta. Yogyakarta.